Ketika UU Pemilu Yang Diketok Tersangka korupsi

Beritatrendindonesia.com – News Pimpinan sidang paripurna Revisi Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) Fadli Zon menyerahkan palu sidang ke Setya Novanto. Hal ini menyusul sesudah Fraksi Partai Gerindra melakukan walkout dari sidang paripurna karna pembahasan RUU Pemilu masih dilanjutkan untuk voting.

” Karna fraksi saya menolak voting, palu sidang saya serahkan ke Bapak Setya Novanto, ” kata Fadli Zon seraya menyerahkan palu sidang ke Setnov di ruangan paripurna DPR.

Tidak hanya Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), PKS, Partai Demokrat lakukan tindakan walk out dari sidang paripurna. Mereka ogah RUU Pemilu disahkan karna tetap melanjutkan kajian dengan system voting. Yang mana peta politik dalam RUU Pemilu ini, presidential threshold atau ambang batas pencalonan Presiden sebesar 20 %.

Setnov juga meneruskan sidang paripurna RUU Pemilu. ” Ijinkan saya meneruskan paripurna ini, ini sistem demokrasi yang perlu dihormati. Sidang paripurna yang saya hormati, tanpa mengurangi rasa hormat mereka yang tidak sepakat saya lanjutkan sidang paripurna, ” kata Setnov.

Rapat Paripurna DPR pada akhirnya mengesahkan RUU Pemilu menjadi Undang-undang sehingga ambang batas calon presiden 20 %. ” Barusan kita ketahui dengan keseluruhan 539 yang pro opsi A 322. Serta opsi B 217 dikarenakan memiliki pemikiran berbeda jadi kita putuskan kalau pilihan A dengan aklamasi kita putuskan kita sepakat. Apakah sepakat?, ” bertanya Novanto di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

” Sepakat, ” jawab semua anggota yang ada.

Nyatanya kepemimpinan Novanto dalam sidang dipermasalahkan. Argumennya karna Novanto menyandang status tersangka dugaan korupsi e-KTP di KPK.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyebutkan, pengesahan UU oleh Novanto yang notabene yaitu tersangka yaitu hal yang bikin malu. Menurut dia, ini jadi satu histori yang bikin malu untuk negeri ini.

” Ini bagian dari histori yang membuat malu. Mulai sejak republik ini merdeka, baru kali ini sebuah pengesahan undang-undang di pimpin oleh tersangka korupsi, ” ujarnya pada mass media.

Menurut dia, sikap diam anggota DPR yang tidak menampik sidang paripurna pengesahan RUU Pemilu di pimpin oleh Setya Novanto serta tidak mendorong ada perubahan ketua DPR seakan memberi isyarat matinya akal sehat dari beberapa wakil rakyat di Senayan.

” Untuk ICW, sikap mayoritas anggota DPR yang diam serta tidak mendorong perubahan ketua seakan tanda matinya akal sehat. Pada sisi lain, hal semacam ini seakan mengonfirmasi uang e-KTP mengalir banyak ke anggota Dewan. Hingga mereka ada pada kondisi saling mengunci, ” tuturnya.

Sementara peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menyebutkan, dengan resmi yuridis memang tidak jadi masalah Novanto memimpin sidang pengesahan RUU Pemilu jadi UU tadi malam. Tetapi dengan etis, legitimasi ketentuan DPR, menurut dia, layak dipertanyakan.

” Bagaimana mungkin saja negara sebesar ini, yang tengah berjuang melawan korupsi namun ikhlas melihat panggung Paripurna di pimpin oleh seseorang tersangka. Walaupun status tersangka belum juga menunjukkan kesalahan seorang, namun juga tidak menyebutkan kalau si tersangka benar kan? Jadi kesangsian juga akan bersalah atau tidaknya tersangka itu membuat dia tidak layak untuk diakui seluruhnya, ” tuturnya.

” Di situlah etika bekerja. Tersangka serta orang-orang yang berada di belakangnya mesti sadar kalau panggung Paripurna itu adalah panggung rakyat. Rakyat melihat serta menunggu hasil Paripurna itu, ” lanjutnya.

Dia menyebutkan, karna hal tersebut berkaitan kebutuhan rakyat, DPR tidak dapat begitu saja menyepelekan rakyat dengan mempertontonkan hal yang menurut rakyat memalukan yaitu rapat perlu serta strategis di pimpin oleh tersangka korupsi.

Menurut dia, hal tersebut melawan kode etik yang di buat oleh DPR sendiri dengan misi menjaga harkat serta martabat parlemen jadi lembaga terhormat.

” Saat Paripurna di pimpin tersangka jadi sesungguhnya martabat parlemen tengah diinjak-injak serta rakyat juga diremehkan saat mereka mesti melihat rapat penting Paripurna yang perlu mereka lihat di pimpin oleh orang yang tengah diduga mega korupsi proyek e-KTP, ” tuturnya.

Tetapi Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono tidak mempersoalkan hal itu. Dia mengklaim kalau status Setnov jadi tersangka belum inkracht.

” Ya kan belum inkracht. Tidak apa-apa. Siapa sich yang menyebutkan dia bersalah, ” kata dia.

Dia juga mengingatkan masalah masalah korupsi non-budgeter Bulog yang menerpa bekas Ketum Golkar Akbar Tandjung pada 2002. ” Dulu pak Akbar Tanjung juga hingga usai. Bahkan juga diujungnya bebas. Coba bila di turunkan, mendadak bebas serta akhirnya menang, jangan keliru sampai th. 2014 kita menang, ” ungkap dia.

Dia juga menyebutkan pihaknya juga akan tetap kooperatif dalam hadapi problem hukum yang berlaku. ” Berarti tidak memungkiri serta tidak tidak mematuhi hukum. Kerja-kerja partai kemarin memiliki perlengkapan pemilu. Bermakna kerja-kerja partai. Kerja legislatif, ” papar dia

Related posts