Game Online Disebut Bisa Dipakai untuk Sebar Ideologi Teroris

Game Online Disebut Bisa Dipakai untuk Sebar Ideologi Teroris

Berita Trend Indonesia — Gilles de Kerchove Koordinator antiterorisme Uni Eropa mengatakan,  game online bisa digunakan untuk menyebar ideologi ekstremis dan bahkan mempersiapkan serangan. Hal tersebut disampaikannya kepada AFP dalam sebuah wawancara, dan ia mendesak agar lebih banyak aturan diterapkan.

“Saya bukan mengatakan semua sektor game bermasalah. Ada 2 miliar orang bermain online, dan itu semua sangat bagus,” kata de Kerchove orang Belgia yang telah menjabat posisi itu 13 tahun.

Namun ia memperingatkan,

“Anda punya kelompok ekstrem kanan di Jerman yang telah membuat permainan yang untuk menembak orang Arab, atau (George) Soros (miliarder AS kelahiran Hongaria), atau Nyonya (Angela) Merkel untuk migrasi kebijakan, dll.”

“Itu bisa jadi cara alternatif untuk menyebar ideologi, terutama yang ekstrem kanan tapi tidak hanya itu, cara mencuci uang… ada mata uang yang dibuat dalam permainan bisa ditukar dengan legal tender,” terangnya.

“Ini bisa jadi bentuk komunikasi. Ini dienkripsi. Bisa juga cara untuk menguji skenario serangan,” lanjutnya.

de Kerchove juga menyuarakan keprihatinan atas amplifikasi algoritmik, di mana platform seperti Facebook dan YouTube menempatkan konten bermasalah untuk mengeksploitasi reaksi emosional guna meningkatkan keterlibatan pengguna.

Ini adalah salah satu aspek yang ingin ditangani oleh eksekutif Uni Eropa dalam Digital Services Act, dengan menuntut transparansi lebih dari para raksasa digital.

Parlemen Eropa juga membahas proposal yang akan meminta konten yang dianggap memiliki karakter teroris, dihapus secara online dalam waktu 1 jam.

Tindakan melawan terorisme ditingkatkan dalam agenda Uni Eropa, sejak serangan milisi baru-baru ini di Perancis dan Austria. Akses ke pesan terenkripsi Kekhawatiran lain yang kontroversial adalah desakan dari para penegak hukum di negara-negara Uni Eropa, agar pihak berwenang dengan surat perintah bisa membaca pesan yang terenkripsi seperti di WhatApp.

Wacana itu ditentang oleh para pembela kebebasan berbicara dan kebebasan sipil serta pendukung privasi, yang takut disalahgunakan dan digunakan oleh peretas, penjahat, atau otoritas setempat. Mengenai hal itu, de Kerchove menawarkan jaminan.

“Tak seorang pun di Brussels ingin mengurangi enkripsi. Sebaliknya, kami mendukung lebih banyak enkripsi.”

Namun ia menambahkan,

“Apakah itu benar kami tidak dapat mengidentifikasi siapa yang berada di balik IP address dan mengunggah foto pedofil dari pemerkosaan anak?”

“Bagaimana bisa polisi menyadap SMS tetapi tidak dapat mengakses konten yang sama dalam pesan WhatsApp? Apakah itu logis?”

Dia menyarankan Digital Services Act mencakup ketentuan yang memaksa penyedia komunikasi terenkripsi, memberikan versi pesan yang tidak terenkripsi ke polisi dan jaksa ketika diperintahkan oleh hakim.

de Kerchove menegaskan bahwa tindakan itu akan menyiasati masalah kunci dekripsi yang beredar dan jatuh ke tangan yang salah.

Namun dia tidak menjelaskan bagaimana cara kerjanya secara teknis, mengingat enkripsi WhatApp bersifat end-to-end. Artinya hanya pengirim dan penerima pesan yang bisa membacanya, bahkan WhatsApp sendiri atau Facebook selaku pemilik platform itu tidak bisa melakukannya, karena pesan dikodekan dengan dua kunci digital, satu publik dan satu pribadi.

Selain Uni Eropa, Amerika Serikat dan aliansinya yang bernama Five Eyes – terdiri dari Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru – pada Oktober juga meminta perusahaan-perusahaan teknologi memberi akses membuka pesan terenkripsi.

Related posts